Jumat, 21 Februari 2014

Autobiografi

Diposting oleh Ade Luqman Nulhakim on 09.26
Bersama kawan-kawan Backsilmove pada Februari 2013

 
Terpikir untuk sedikit menulis tentang sekelumit sejarah di balik siapa saya sekarang. Terima kasih buat Pak Dhipa, dengan karya-karya dan pengalaman beliau yang menjadi pemicunya yang akhirnya membuat saya menuliskan ini. Semoga bermanfaat.

Tentang Nama
Saya terlahir dengan nama lengkap Ade Luqman Nulhakim pada tanggal 22 Desember 1993 di Kota Garut. Nama tipikal untuk anak yang tumbuh dari keluarga yang cukup religius. Sempat saya tanya pada Bapak dan Ibu (begitu saya memanggil kedua orangtua saya) soal arti dibalik nama saya. Jawaban mereka simple saja, tapi bagi saya nama itu menyiratkan beban tersendiri. Orang tua saya menginginkan saya tumbuh sebagai pemimpin besar dengan karakter yang begitu kuat seperti Luqman, seorang manusia soleh yang diceritakan dalam kitab suci Al-Quran. Selanjutnya, ada nama depan Ade yang saya pikir itu berarti Adik, karena saat itu saya adalah anak bungsu sebelum terlahirnya adik saya kemudian. Namun bukan itu artinya, kata Bapak Ade adalah nama lain dari Aidil (Idul) yang berarti hari perayaan. Pada saat itu hari kelahiran saya memang dekat dengan hari perayaan Idul Adha. Mungkin itulah sebabnya.
Sejak kecil saya akrab dipanggil dengan nama depan saya, Ade. Seiring tumbuhnya saya, dan bergaul dengan berbagai kalangan, nama saya pun makin bermacam-macam, fatalnya sekarang teman-teman di kampus saya, kompak menyebut saya ‘mamang’. Atau dalam dunia organisasi orang-orang lebih senang memanggil saya Luqman.
Saat ini saya berkuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi Jurnalistik, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati semester 6. Usia saya 20 tahun, dan di sela-sela aktivitas saya berkuliah, sedikit meluangkan waktu berkontribusi di masyarakat dengan bergabung dalam sebuah organisasi non-profit yang bergerak di bidang pemberdayaan pemuda untuk perubahan sosial, Komunitas Kita Indonesia. Saya menyenangi mengajar dan berkomunikasi dengan orang banyak, yang kini saya salurkan dengan mendirikan, memproduseri, dan menjalankan platform Komunitas Anak Tangga. Berhasrat tinggi pada pembangunan masyarakat dan dunia pendidikan, serta bercita-cita menjadi seorang guru dan pembaharu sosial.

Tentang Bapak dan Ibu
Tumbuh dalam keluarga dengan latar religi yang begitu kuat, membuat saya dibesarkan dengan nilai-nilai keislaman. Masih ingat di benak saya setiap hari sepulang sekolah saya harus mengaji bersama Bapak, mempelajari hadist, dll. Tapi satu hal yang paling saya hargai adalah tentang bagaimana orangtua saya tetap memberikan pilihan-pilihan di tangan saya sendiri, bagaimana mereka tetap memberikan ruang bagi saya untuk menjadi muslim yang moderat, bebas mengekspresikan diri (meskipun ada batas-batasan tertentu yang tetap tidak boleh dilanggar), mengungkapkan pendapat, dll. Ruang macam inilah yang saya pandang memberikan kesempatan bagi saya untuk jadi seperti sekarang. Bapak dan Ibu tidak pernah memaksakan kehendaknya, tetapi selalu melibatkan saya dalam setiap keputusan yang terkait dengan saya secara langsung. Mereka tidak pernah memaksakan saya untuk menjadi juara kelas, harus les ini atau les itu, ikut kegiatan macam-macam, melarang bermain, dll. Sesekali memang mereka memberikan tuntunan, namun pada akhirnya pilihan ada di tangan saya.
Kebebasan dan demokrasi itu tidak membuat saya kemudian justru jadi “liar”, tapi sebaliknya, justru merasa bertanggungjawab atas setiap pilihan yang saya ambil. Ketika saya melakukan kesalahan, Bapak hanya bilang “kamu yang pilih itu kan?”.
Kedua orang tua saya memang tidak berlatar belakang pendidikan yang kuat. Bapak hanyalah lulusan Madrasah (setingkat SLTA), dan Ibu juga hanyalah lulusan SMA. Kami bukan keluarga yang hidup berlimpah ruah. Bapak hanya seorang petani yang mengandalkan perekonomian keluarga dengan mengolah lahan pertanian. Namun hari ini, Ibu sudah tiada. Pada 1996 silam, Ibu sudah meninggal dunia. Bapak pun kembali menikah dan mempunyai seorang anak lagi. jadi tetap, hari ini saya masih punya dua orang tua, meski bukan Ibu asli tapi saya tetap menganggapnya sebagaimana ibu kandung.
Ketika ditanya, mana aktivitas yang paling menggetarkan. Sulit sekali menjawabnya. Entahlah, bagi saya setiap aktivitas yang mereka lakukan untuk saya, agar saya berhasil, begitu besar artinya. Sehingga sedih sekali ketika melihat keduanya menangis, karena kenakalan saya atau ketika saya justru mengecewakan mereka.

Menakar Masa Depan
Awalnya saya adalah tipikal orang yang sangat kaku dalam merencanakan masa depan, doktrin “3 pertanyaan Ibnu Qoyyim” yang harus bisa dijawab yaitu pada usia 20, 40, dan 60 ingin menjadi apa ?, akan mati dikenang sebagai apa?, dan akan mati dalam keadaan yang bagaimana ? terhujam kuat dalam diri ini, alhasil saya membuat Life Map tiga halaman yang berisikan rencana hidup secara rinci setiap tahunnya mulai lahir hingga meninggal (asumsi usia 60 tahun), Life Map itu dibuat di Microsoft Excel lalu  saya protect filenya dengan password random, tujuannya? agar tidak bisa diubah dan konsisten terhadap perencanaan. Sounds dramatic. . .
Sesekali saya juga mendengar istilah “Let it flow” , “hidup biarkanlah mengalir”, “air mengalir ujungnya sampai laut juga” namun saya cukup resisten dengan istilah sejenis, perencanaan adalah segalanya, hidup tanpa perencanaan akan membuat kita terombang-ambing, bergerak tanpa orientasi, dan berakhir pada hidup penuh rutinitas belaka Saya menjelma menjadi orang yang sangat pro-perencanaan. Jamil Azzaini pada sebuah kesempatan sempat berujar “memang air mengalir ujungnya sampai laut, tapi coba kita ke toilet, airnya mengalir kemana ? apa mau masa depan kita seperti itu?”
Namun rencana tidak selalu indah. Sejak kecil saya punya banyak cita-cita, dan tak seperti seharusnya cita-cita itu nyata hari ini. Saya ceritakan kenapa saya memilih jurusan jurnalistik hari ini. Ada beberapa indikator saat kelas satu SMA lima tahun lalu. Saya selalu berpikir kalau dengan menjadi seorang jurnalis dapat membuka jalan saya untuk berkunjung ke tempat-tempat baru atau mewujudkan cita-cita berkunjung ke luarnegeri. Saya yakin itu bisa, namun tidak semudah apa yang saya bayangkan. Selanjutnya saya menemukan lagi sekarang, apa sebenarnya yang saya inginkan dimasa depan, dengan melalui berbagai pengalaman 2 tahun terakhir saya menjadi tertarik dibidang hubungan internasional. Saya bermimpi, puncak karier saya kelak adalah menjadi diplomat atau menjadi seorang pemimpin kedutaan indonesia untuk luar negeri. Luar biasa jika mungkin menjadi nyata, semoga.
Bagi saya, ada banyak momentum dalam hidup saya yang mengambil andil besar dalam membuat saya menjadi Luqman yang sekarang. Tapi diantara itu semua, ada beberapa hal yang menjadi pijakan penting. Saya percaya perjalanan saya masih panjang, dan masih ada hal-hal lain yang menunggu saya, menambah pijakan saya hingga akhirnya sampai ke akhir perjalanan ini (kematian).

Terakhir. . . .
Oog Way (kura-kura bijak guru master shifu di serial kungfu panda) yang sedang bersemedi di puncak gunung palm didatangi oleh Po yang terengah-engah ketakutan karena Tai Lung lepas dari penjara, ia tampak depresi dan ketakutan akan apa yang akan terjadi didepan, namun sebuah kalimat mengalun damai mengobati kegalauan hati Po, Oog Way berujar 
“Yesterday is history, tomorrow is a mystery, but today is a gift. That is why it is called the present”,
Bagi saya kalimat ini begitu jelas, ketimbang berkutat terlalu berat pada hari esok yang belum tentu terjadi atau mengutuk erat masa lalu yang mustahil kembali, lebih baik menjalani hari ini dengan sebaik baiknya, terus bekerja keras dan tentunya open minded.
Living life to the fullest. . .

Bandung, 14 Februari 2014
Ditulis dalam keadaan tergesa-gesa dikejar dedlen


Kindly Bookmark and Share it:

0 komentar:

Posting Komentar

 

About Me

Ade Luqman Nulhakim
Lihat profil lengkapku

Recent posts

Recent Comments

Bookmark & Share

© 2010 Ade Luqman Blog Template by My Blogger Tricks