Bersama kawan-kawan Backsilmove pada Februari 2013 |
Terpikir
untuk sedikit menulis tentang sekelumit sejarah di balik siapa saya sekarang.
Terima kasih buat Pak Dhipa, dengan karya-karya dan pengalaman beliau yang
menjadi pemicunya yang akhirnya membuat saya menuliskan ini. Semoga bermanfaat.
Tentang Nama
Saya terlahir dengan nama lengkap Ade Luqman Nulhakim
pada tanggal 22 Desember 1993 di Kota Garut. Nama tipikal untuk anak yang
tumbuh dari keluarga yang cukup religius. Sempat saya tanya pada Bapak dan Ibu
(begitu saya memanggil kedua orangtua saya) soal arti dibalik nama saya.
Jawaban mereka simple saja, tapi bagi saya nama itu
menyiratkan beban tersendiri. Orang tua saya menginginkan saya tumbuh sebagai
pemimpin besar dengan karakter yang begitu kuat seperti Luqman, seorang manusia
soleh yang diceritakan dalam kitab suci Al-Quran. Selanjutnya, ada nama depan
Ade yang saya pikir itu berarti Adik, karena saat itu saya adalah anak bungsu
sebelum terlahirnya adik saya kemudian. Namun bukan itu artinya, kata Bapak Ade
adalah nama lain dari Aidil (Idul) yang berarti hari perayaan. Pada saat itu
hari kelahiran saya memang dekat dengan hari perayaan Idul Adha. Mungkin itulah
sebabnya.
Sejak kecil saya akrab dipanggil dengan nama depan
saya, Ade. Seiring tumbuhnya saya, dan bergaul dengan berbagai kalangan, nama
saya pun makin bermacam-macam, fatalnya sekarang teman-teman di kampus saya,
kompak menyebut saya ‘mamang’. Atau dalam dunia organisasi orang-orang lebih
senang memanggil saya Luqman.
Saat ini saya berkuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi
Jurnalistik, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati semester 6. Usia saya
20 tahun, dan di sela-sela aktivitas saya berkuliah, sedikit meluangkan waktu
berkontribusi di masyarakat dengan bergabung dalam sebuah organisasi non-profit
yang bergerak di bidang pemberdayaan pemuda untuk perubahan sosial, Komunitas
Kita Indonesia. Saya menyenangi mengajar dan berkomunikasi dengan orang banyak,
yang kini saya salurkan dengan mendirikan, memproduseri, dan menjalankan platform Komunitas
Anak Tangga. Berhasrat tinggi pada pembangunan masyarakat dan dunia pendidikan,
serta bercita-cita menjadi seorang guru dan pembaharu sosial.
Tentang Bapak dan Ibu
Tumbuh dalam keluarga dengan latar religi yang begitu
kuat, membuat saya dibesarkan dengan nilai-nilai keislaman. Masih ingat di
benak saya setiap hari sepulang sekolah saya harus mengaji bersama Bapak,
mempelajari hadist, dll. Tapi satu hal yang paling saya hargai adalah tentang
bagaimana orangtua saya tetap memberikan pilihan-pilihan di tangan saya
sendiri, bagaimana mereka tetap memberikan ruang bagi saya untuk menjadi muslim
yang moderat, bebas mengekspresikan diri (meskipun ada batas-batasan tertentu
yang tetap tidak boleh dilanggar), mengungkapkan pendapat, dll. Ruang macam
inilah yang saya pandang memberikan kesempatan bagi saya untuk jadi seperti
sekarang. Bapak dan Ibu tidak pernah memaksakan kehendaknya, tetapi selalu
melibatkan saya dalam setiap keputusan yang terkait dengan saya secara
langsung. Mereka tidak pernah memaksakan saya untuk menjadi juara kelas, harus
les ini atau les itu, ikut kegiatan macam-macam, melarang bermain, dll. Sesekali
memang mereka memberikan tuntunan, namun pada akhirnya pilihan ada di tangan
saya.
Kebebasan dan demokrasi itu tidak membuat saya
kemudian justru jadi “liar”, tapi sebaliknya, justru merasa bertanggungjawab
atas setiap pilihan yang saya ambil. Ketika saya melakukan kesalahan, Bapak
hanya bilang “kamu yang pilih itu kan?”.
Kedua orang tua saya memang tidak berlatar belakang
pendidikan yang kuat. Bapak hanyalah lulusan Madrasah (setingkat SLTA), dan Ibu
juga hanyalah lulusan SMA. Kami bukan keluarga yang hidup berlimpah ruah. Bapak
hanya seorang petani yang mengandalkan perekonomian keluarga dengan mengolah
lahan pertanian. Namun hari ini, Ibu sudah tiada. Pada 1996 silam, Ibu sudah
meninggal dunia. Bapak pun kembali menikah dan mempunyai seorang anak lagi. jadi
tetap, hari ini saya masih punya dua orang tua, meski bukan Ibu asli tapi saya
tetap menganggapnya sebagaimana ibu kandung.
Ketika ditanya, mana aktivitas yang paling
menggetarkan. Sulit sekali menjawabnya. Entahlah, bagi saya setiap aktivitas
yang mereka lakukan untuk saya, agar saya berhasil, begitu besar artinya.
Sehingga sedih sekali ketika melihat keduanya menangis, karena kenakalan saya
atau ketika saya justru mengecewakan mereka.
Menakar Masa Depan
Awalnya saya adalah tipikal orang yang sangat kaku
dalam merencanakan masa depan, doktrin “3 pertanyaan Ibnu Qoyyim” yang harus
bisa dijawab yaitu pada usia 20, 40, dan 60 ingin menjadi apa ?, akan mati
dikenang sebagai apa?, dan akan mati dalam keadaan yang bagaimana ? terhujam
kuat dalam diri ini, alhasil saya membuat Life Map tiga
halaman yang berisikan rencana hidup secara rinci setiap tahunnya mulai lahir
hingga meninggal (asumsi usia 60 tahun), Life Map itu dibuat di Microsoft Excel
lalu saya protect filenya dengan password random,
tujuannya? agar tidak bisa diubah dan konsisten terhadap perencanaan. Sounds
dramatic. . .
Sesekali saya juga mendengar istilah “Let it flow”
, “hidup biarkanlah mengalir”, “air mengalir ujungnya sampai laut juga” namun
saya cukup resisten dengan istilah sejenis, perencanaan adalah segalanya, hidup
tanpa perencanaan akan membuat kita terombang-ambing, bergerak tanpa orientasi,
dan berakhir pada hidup penuh rutinitas belaka Saya menjelma menjadi orang yang
sangat pro-perencanaan. Jamil Azzaini pada sebuah kesempatan sempat berujar
“memang air mengalir ujungnya sampai laut, tapi coba kita ke toilet, airnya
mengalir kemana ? apa mau masa depan kita seperti itu?”
Namun rencana tidak selalu indah. Sejak kecil saya
punya banyak cita-cita, dan tak seperti seharusnya cita-cita itu nyata hari
ini. Saya ceritakan kenapa saya memilih jurusan jurnalistik hari ini. Ada
beberapa indikator saat kelas satu SMA lima tahun lalu. Saya selalu berpikir
kalau dengan menjadi seorang jurnalis dapat membuka jalan saya untuk berkunjung
ke tempat-tempat baru atau mewujudkan cita-cita berkunjung ke luarnegeri. Saya
yakin itu bisa, namun tidak semudah apa yang saya bayangkan. Selanjutnya saya
menemukan lagi sekarang, apa sebenarnya yang saya inginkan dimasa depan, dengan
melalui berbagai pengalaman 2 tahun terakhir saya menjadi tertarik dibidang
hubungan internasional. Saya bermimpi, puncak karier saya kelak adalah menjadi
diplomat atau menjadi seorang pemimpin kedutaan indonesia untuk luar negeri. Luar
biasa jika mungkin menjadi nyata, semoga.
Bagi saya, ada banyak momentum dalam hidup saya yang
mengambil andil besar dalam membuat saya menjadi Luqman yang sekarang. Tapi
diantara itu semua, ada beberapa hal yang menjadi pijakan penting. Saya percaya
perjalanan saya masih panjang, dan masih ada hal-hal lain yang menunggu saya,
menambah pijakan saya hingga akhirnya sampai ke akhir perjalanan ini
(kematian).
Terakhir. . . .
Oog Way (kura-kura bijak guru master shifu di serial
kungfu panda) yang sedang bersemedi di puncak gunung palm didatangi oleh Po
yang terengah-engah ketakutan karena Tai Lung lepas dari penjara, ia tampak
depresi dan ketakutan akan apa yang akan terjadi didepan, namun sebuah kalimat
mengalun damai mengobati kegalauan hati Po, Oog Way berujar
“Yesterday is history, tomorrow is
a mystery, but today is a gift. That is why it is called the present”,
Bagi saya kalimat ini begitu jelas, ketimbang berkutat
terlalu berat pada hari esok yang belum tentu terjadi atau mengutuk erat masa
lalu yang mustahil kembali, lebih baik menjalani hari ini dengan sebaik
baiknya, terus bekerja keras dan tentunya open minded.
Living life to the fullest. . .
Bandung, 14 Februari 2014
Ditulis dalam keadaan tergesa-gesa
dikejar dedlen
0 komentar: